Lalu ia diajari rekannya, S (30) menginstal aplikasi pertemenan. Sejak itu, R mulai “kebanjiran” pelanggan. Lewat aplikasi itu, ia sehari bisa mendapat 1 sampai 3 tamu dengan tarif sekali kencan mencapai Rp 1 juta.
Biasanya, sambung R, yang ramai itu di akhir pekan. Rata-rata pendatang yang nginap di hotel Kota Jambi yang meminta jasanya.
“Tapi akhir-akhir ini sepi. Nggak tahu juga kenapa,” kata dia.
Atas permintaan media ini, R akhirnya menghubungi S, rekannya.
Sambil menunggu S datang, R bercerita bahwa “bisnis” lewat aplikasi itu cukup menguntungkan. Tapi, kadang-kadang juga merugikan.
Pernah beberapa kali ia ditipu pelanggan. Saat sudah bertransaksi via aplikasi, ia meluncur ke hotel tempat tamu itu menginap. Tapi sesampai di hotel, sang tamu tidak ada sedang nomor kontak di aplikasi sudah diblokir oleh sang tamu.
“Makanya kalau ada yang mesan, saya wanti-wanti dulu. Kalau sudah yakin, baru saya berangkat,” tambahnya.
Lewat pengakuan S, para tamu yang “nakal” itu cukup banyak. Malah pernah ia ditipu tamu sampai merugikannya jutaan rupiah.
“Kata tamu mau ngasih Rp 3 juta. Tapi harus buka hotel dulu. Pas sudah saya pesan hotel, eh, tahu-tahu tamunya nggak ada. Rugi besar hari itu,” tutur S yang berpakaian sederhana, baju kaos putih ketat, celana jeans, rambut lurus panjang.
Wajahnya tak banyak dipoles. Cuma alas bedak tipis, lipstik mera muda. Senyumnya tak kala menawan.
R dan S satu indekos. Sama-sama dari daerah yang sama, satu kabupaten di provinsi Jawa Barat.
Dari S diketahui bahwa para “pekerja” seperti mereka, biasa menggunakan empat aplikasi. Dan dalam kurun waktu tertentu, mereka harus menyesuaikan perkembangan aplikasi jika fitur di aplikasi tersebut mengalami pengurangan.
Intinya, aplikasi yang dipakai harus memiliki fitur “pencarian sekitar”. Sehingga, dengan begitu mereka dengan mudah mempromosikan diri dan memasang “jerat” bagi lelaki hidung belang.