Opini : Menelaah Politik Resiprositas

Reza Amarta Prayoga, M.A
Reza Amarta Prayoga, M.A

Opini : Menelaah Politik Resiprositas

Oleh : Reza Amarta Prayoga, M.A.

JAMBISERU.COM – Para calon kepala daerah saat ini membangun kekuatan berbasis massa melalui parpol dan investor. Koalisi parpol dan investor elite yang dibangun tentunya memberikan isyarat adanya timbal-balik atas apa yang telah mereka keluarkan (cost politic) mulai dengan penggalangan massa, penyebaran dan pemetaan kekuatan basis suara, pencitraan, penggalangan dana suara untuk pemenangan, hingga membangun koalisi partai—partai berbasis massa besar. Hal ini tentunya memiliki kepentingan terselubung dari timbal balik jika calon kepala daerah yang dibela mendapatkan kemenangan pada pilkada nanti.

Bacaan Lainnya

Baca Juga : Opini : Skenario Adu Kambing dalam Pilgub Jambi

Politik timbal-balik atau resiprositas berfondasi dari teori James Coleman. Teori ini menjelaskan bahwa semua perilaku berasal dari individu (investor elite) atau kelompok (parpol) yang berusaha mengejar kepentingan mereka sendiri sebagai konsekuensi bentuk pertukaran dari interaksi tawar-menawar politik. Mengejar kepentingan mereka sendiri perlu digarisbawahi bahwasanya termaktub sebuah pilihan rasional. Dimana, kepentingan untung-rugi yang diperoleh dari ikatan atau koalisi yang dijadikan pilihan partai-partai untuk mendapat keuntungan timbal balik dari hubungan yang dibangun. Timbal balik atau balas budi ini dapat berwujud profit tender proyek, perekrutan pejabat daerah, pengadaan barang/jasa, dan perijinan sumber daya alam. Maka tidak mengherankan, kepala daerah mudah terperangkap pada tindak pidana korupsi.

Sejatinya, jika ditelisik dari sudut pandang Coleman (Field, 2010) tentang resiprositas, ia menerangkan bahwa relasi kedekatan timbul karena adanya hubungan yang memberikan keuntungan timbal balik antar individu dan kelompok (calon kepala daerah, partai, dan tim sukses) sebagai sesuatu yang hakiki dalam memberikan keuntungan satu sama lainnya. Lebih jelas, resiprositas ranah politik menjadi ritus kuratif di tengah kebuntuan dalam gradasi posisi tawar politik.

Koalisi partai sejatinya merupakan hubungan antar kelompok yang sifat hubungannya tidak permanen atau temporer (sementara). Hal ini tidak terlepas dari sebuah asumsi bahwasanya ketika ikatan dari komitmen yang dibangun tidak sejalan lagi atau tidak memberikan keuntungan, maka partai sebagai wujud kelompok sosial secara rasional bisa memilih keluar dari koalisi yang telah dibangun.

Maka banyak kita lihat dari narasi arus utama media massa, bahwa partai-partai terlihat masih menggunakan cara wait and see atau menunggu dipersimpangan mana partai-partai yang memiliki potensi bisa diajak untuk dijadikan mitra koalisi strategis. Karena beberapa partai juga masih “galau” dalam menentukan partai mana yang tepat diajak untuk berkoalisi dan hal itu berdasar kepada sosok dan pengaruh tokoh kepemimpinan partai.

Selain ideologi, visi misi, sosok kepemimpinan partai sangat mempengaruhi dari komitmen koalisi yang akan dibangun. Sosok kepemimpinan dari suatu partai sangat menentukan kemana arah koalisi, apalagi koalisi partai berasal dari partai berbasis massa besar, pastinya ingin tokoh atau sosok kepemimpinannya dapat dijadikan tandem atau bisa jadi figur yang diprioritaskan untuk dapat duduk di jajaran kabinet yang akan dibangun dari partai yang mengajak berkoalisi. Hal ini menjadi sindikasi bahwasanya koalisi tidak akan terlepas dari resiprokal atau timbal balik politik dari hubungan koalisi, bisa jadi ini dapat dikatakan sebagai politik transaksional.

Hal yang dilakukan oleh partai berkoalisi untuk bagi-bagi kursi. Hal tersebut sah-sah saja sebagai bentuk umpan balik dari koalisi yang dibangun. Namun, perlu dipertegas bahwasanya koalisi yang nantinya akan dibangun harus memiliki komitmen moral yaitu sosok yang akan duduk atau memperoleh timbal-balik dari mitra koalisi tersebut memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Bukan dari kapasitas pemimpin yang ditunjuk secara instan, atau nantinya berdasarkan balas budi atas kontribusi pemenangan.

Calon Kepala Daerah berorientasi Pemimpin “Organik”

Meminjam istilah Antonio Gramsci tentang “intelektual organik” adalah mereka yang mampu merasakan emosi, semangat dan apa yang dirasakan kaum buruh (kaum tertindas atau tersubordinasi), memihak kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-kecenderungan objektif masyarakat.

Dengan demikian maka adalah sesuatu yang amat penting sekali bahwa keberadaan kaum intelektual bukanlah di menara gading, elitis, melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum pinggiran (mereka yang tertindas atau rakyat biasa). Sama halnya juga para pemimpin daerah, tidak bertugas menyuntik “janji” ke dalam diri kelas masyarakat tersubordinasi atau termarginal, tetapi beraksi dan berdiri tegak memperjuangkan aspirasi, dan tidak terjebak diatas menara gading elitis nan seksi (kedudukan).

Baca Juga : “Banteng” di Pilgub Jambi: Antara Menanduk atau Ditanduk?

Pemimpin daerah yang berani memperjuangkan aspirasi, berpihak dan menyatu pada rakyat yang tersubordinasi atau terpinggirkan adalah suatu ciri pemimpin organik. Dimana, Ini memiliki makna bahwa pemimpin organik akan menghadirkan suara-suara keberpihakan atas kepentingan masyarakat bawah untuk diperjuangkan dan berdiri tegak atas nama rakyat. Dengan model nalar itu, pemimpin organik tidak saja melanggengkan kehendak untuk benar (will to truth), tetapi juga telah menggeser dirinya berkehendak untuk berkuasa (will to power). Artinya pemimpin daerah demikian tidak menjadikan kursi kehormatan sebagai sumber pundi menumpuk kekayaan tetapi berkerja nyata berpihak memperjuangkan mereka (masyarakat tersubordinasi) yang tertindas. (**)

*) Penulis adalah ASN

Pos terkait