Oleh : Al Haris *
Upacara bela negara bukanlah sekadar rutinitas seremonial yang hadir setiap tahun lalu dilupakan begitu saja. Bagi saya, upacara ini adalah pengingat—pengingat bahwa jabatan yang kami sandang hari ini bukan hadiah, melainkan amanah. Maka ketika saya mendapat laporan bahwa masih ada pejabat yang absen dalam upacara bela negara, perasaan saya campur aduk: kecewa, prihatin, sekaligus merasa perlu bicara lebih jujur kepada publik.
Saya paham, menjadi pejabat bukan perkara mudah. Jadwal padat, tanggung jawab berlapis, dan urusan yang seolah tak pernah habis. Tapi justru di situlah letak ujiannya. Ketika kita diminta hadir dalam satu momentum yang menyangkut nilai kebangsaan dan kedisiplinan, lalu memilih absen tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, di situ ada yang keliru dalam cara kita memaknai jabatan.
Upacara bela negara bukan tentang berdiri lama di bawah terik matahari. Bukan pula soal barisan rapi atau pakaian seragam. Ini tentang sikap batin. Tentang apakah kita masih merasa menjadi bagian dari negara yang kita layani, atau hanya sekadar pengelola jabatan administratif.
Sebagai Gubernur, saya tidak bisa membiarkan hal semacam ini berlalu begitu saja. Bukan karena ingin menghukum, tetapi karena saya percaya disiplin adalah fondasi utama pemerintahan yang sehat. Maka saya menginstruksikan Sekretaris Daerah untuk memberikan sanksi administratif berupa SP1 kepada pejabat yang terbukti absen tanpa keterangan yang jelas.
Langkah ini bukan bentuk kemarahan, apalagi pamer kekuasaan. Ini adalah bentuk pengingat keras tapi perlu. Karena kalau pejabat saja tidak disiplin dalam urusan simbolik negara, bagaimana kita berharap disiplin itu hidup dalam pelayanan publik sehari-hari?
Saya sering berkata dalam banyak kesempatan: rakyat tidak menuntut pejabat yang sempurna. Rakyat hanya ingin pejabat yang hadir, peduli, dan bertanggung jawab. Kehadiran dalam upacara bela negara adalah bentuk paling sederhana dari ketiga hal itu.
Di lapangan, saya kerap bertemu masyarakat yang datang tepat waktu ke kantor desa hanya untuk mengurus satu lembar surat. Saya melihat guru yang tetap mengajar meski fasilitas terbatas. Saya menyaksikan tenaga kesehatan yang bertugas tanpa mengenal jam kerja. Jika mereka bisa menunjukkan komitmen dalam kondisi serba terbatas, lalu apa alasan kita sebagai pejabat untuk absen dalam kegiatan kebangsaan?
Ada yang beranggapan, “Ini hanya upacara, yang penting kerja berjalan.” Saya justru berpendapat sebaliknya. Cara kita memandang hal-hal kecil akan menentukan cara kita menangani hal-hal besar. Disiplin dimulai dari kehadiran, dari menghargai waktu, dari menghormati simbol-simbol negara.
Saya tidak ingin birokrasi Jambi tumbuh menjadi birokrasi yang kering nilai. Kita butuh aparatur yang tidak hanya pintar mengelola program, tetapi juga kuat secara etika dan moral. Bela negara dalam konteks hari ini bukan hanya soal angkat senjata. Ia hadir dalam bentuk kejujuran, kedisiplinan, dan kesediaan menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Instruksi pemberian SP1 ini harus dibaca sebagai proses pembinaan, bukan sekadar hukuman. Saya ingin para pejabat merenung: apa arti jabatan ini bagi saya? Apa yang ingin saya wariskan selain daftar program dan laporan kegiatan?
Saya juga ingin masyarakat tahu, bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap sikap aparatur. Kritik publik adalah vitamin bagi demokrasi. Ketika ada pejabat yang lalai, wajar jika masyarakat bertanya. Dan tugas saya adalah memastikan pertanyaan itu dijawab dengan tindakan, bukan dengan pembelaan kosong.
Ke depan, saya berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bersama. Tidak hanya bagi mereka yang absen, tetapi bagi seluruh jajaran pemerintahan. Bahwa kedisiplinan bukan soal takut pada sanksi, melainkan soal kesadaran akan peran dan tanggung jawab.
Saya percaya, pemerintahan yang kuat tidak dibangun dari pidato panjang atau slogan megah. Ia dibangun dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara konsisten. Hadir tepat waktu. Menghormati aturan. Menjadi teladan sebelum menuntut.
Dan jika hari ini saya harus bersikap tegas, itu semata-mata karena saya ingin birokrasi Jambi tumbuh dengan karakter. Karakter yang berakar pada nilai kebangsaan, pelayanan, dan rasa malu ketika lalai.
Karena pada akhirnya, bela negara bukan milik tentara semata. Ia adalah tanggung jawab kita semua—terutama kami yang dipercaya memegang amanah publik. (*)
* Al Haris, Gubernur Jambi










