Jambiseru.com – Tahun 2025 diproyeksikan menjadi tahun yang sangat dinamis bagi pasar otomotif Indonesia, didorong oleh akselerasi kendaraan ramah lingkungan. Di tengah gempuran insentif dan kemunculan model-model baru, persaingan antara Mobil Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle / BEV) dan Mobil Hybrid Electric Vehicle (HEV) menjadi sorotan utama.
Meskipun BEV mendapat dukungan penuh dari pemerintah, data pasar menunjukkan bahwa HEV masih memegang peran penting sebagai “katalis transisi” bagi konsumen Indonesia.
1. Tren Pasar: Mobil Hybrid Sebagai Jembatan
Pada awal 2025, BEV menunjukkan pertumbuhan signifikan berkat insentif PPN yang agresif. Namun, Mobil Hybrid menunjukkan ketahanan yang luar biasa, bahkan sempat diprediksi melesat kembali karena faktor-faktor utama:
* Minim Range Anxiety: Mobil hybrid menawarkan efisiensi bahan bakar yang jauh lebih baik tanpa menghilangkan fleksibilitas mesin bensin. Konsumen tidak perlu khawatir kehabisan daya di daerah yang minim Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).
* Keakraban Konsumen: Sistem hybrid memberikan pengalaman berkendara yang familier, membuat konsumen yang baru beralih dari mobil konvensional merasa lebih nyaman.
* Nilai Jual Kembali (Resale Value): Saat ini, nilai depresiasi (penurunan harga jual) mobil *hybrid cenderung lebih stabil dibandingkan BEV, yang masih dipengaruhi oleh kekhawatiran masyarakat terhadap kondisi dan masa pakai baterai jangka panjang.
2. Jantung Persoalan: Tantangan Infrastruktur SPKLU
Pertumbuhan BEV di Indonesia sangat bergantung pada perkembangan infrastruktur pendukung, khususnya SPKLU. Meskipun pemerintah melalui PLN dan mitra swasta gencar membangun titik pengisian daya, tantangan utama masih menghadang:
Meskipun minat terhadap Kendaraan Listrik (EV) tinggi, ada tiga tantangan utama yang menghambat percepatan adopsi EV di Indonesia.
Pertama, adalah masalah penyebaran infrastruktur yang tidak merata. Saat ini, Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih terkonsentrasi di Jawa dan Bali. Hal ini menimbulkan kecemasan jangkauan (range anxiety) bagi pengguna mobil listrik baterai (BEV) yang ingin bepergian antar pulau atau ke wilayah yang kurang padat penduduknya.
Kedua, terdapat keterbatasan kapasitas jaringan listrik. Pemasangan fasilitas pengisian cepat (Ultra Fast Charger atau UFC) menuntut jaringan listrik yang sangat kuat dan stabil, sesuatu yang belum tersedia secara merata di semua wilayah Indonesia.
Terakhir, konsumen masih memiliki kekhawatiran tentang durasi pengisian daya (charging time). Meskipun teknologi UFC terus berkembang, waktu yang dibutuhkan untuk mengisi ulang BEV masih jauh lebih lama daripada mengisi bensin. Ini menjadi pertimbangan besar, terutama bagi konsumen yang memiliki mobilitas sangat tinggi.
Menteri ESDM telah mengeluarkan Keputusan yang memuat Rencana Pengembangan SPKLU 2025–2030, menunjukkan komitmen untuk mengatasi masalah ini dengan target yang jelas.
3. Peran Krusial Insentif Pemerintah
Insentif menjadi “nyawa” bagi penjualan kendaraan listrik di Indonesia. Untuk tahun 2025, Pemerintah tetap mengalokasikan anggaran untuk insentif kendaraan ramah lingkungan:
* Diskon PPN BEV: Mobil listrik dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% akan mendapatkan potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 1% (PPN DTP). Insentif ini menjadikan harga mobil listrik lokal jauh lebih kompetitif.
* Diskon PPnBM HEV: Mobil hybrid juga mendapat keringanan berupa diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang semakin memperkuat posisinya sebagai pilihan efisien.
Peran insentif ini sangat krusial. Ketika insentif pembelian motor listrik sempat dihentikan, penjualan motor listrik dilaporkan anjlok drastis, membuktikan betapa sensitifnya pasar Indonesia terhadap kebijakan harga.
4. Transisi Bertahap Adalah Kunci
Di tahun 2025, tidak ada pemenang tunggal. BEV adalah masa depan dengan biaya operasional yang jauh lebih rendah dan emisi nol, cocok untuk penggunaan dalam kota. Namun, Hybrid adalah solusi yang realistis dan praktis, berfungsi sebagai jembatan yang ideal untuk konsumen yang ingin efisiensi tanpa bergantung penuh pada infrastruktur pengisian daya yang masih berkembang.
Transisi menuju elektrifikasi di Indonesia akan terus berjalan, namun dalam kecepatan yang bertahap, memberikan ruang bagi BEV dan HEV untuk tumbuh berdampingan. (doo)