Catatan Komjen Anang Iskandar (Mantan Kapolda Jambi): Diskriminasi pembiayaan rehabilitasi BNN dan Kemenkes

Catatan Komjen Anang Iskandar
Anang Iskandar. Foto : Istimewa

Catatan Komjen Anang Iskandar (Mantan Kapolda Jambi): Diskriminasi pembiayaan rehabilitasi BNN dan Kemenkes

Oleh : Anang Iskandar *

Diskriminasi pembiayaan rehabilitasi antara BNN dan Kemenkes, berdampak pada pelaksanaan rehabilitasi pada program Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan peredaran Gelap Narkotika (P4GN).

Bacaan Lainnya

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika bertujuan “menjamin” pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu, dan “mewajibkan” pecandu untuk menjalani rehabilitasi, dengan cara melapor diri ke IPWL guna mendapatkan penyembuhan dan pemulihan sebagai langkah prevention without punishment dan mewajibkan penegakan hukum untuk melakukan pendekatan restoratif.

Tetapi dalam PP (Peraturan Pemerintah) no 25/2011 tentang wajib lapor pecandu dimana Kementrian Kesehatan sebagai leading sector, menyatakan bahwa pembiayaan wajib lapor pecandu dibebankan pecandu, hanya pecandu yang tidak mampu saja, biayanya ditanggung pemerintah. Ini tidak fair Demikian pula PMK (Peraturan Menteri Kesehatan) no 4 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Institusi Penerima wajib lapor (IPWL) menyatakan bahwa biaya wajib lapor pecandu dibebankan pada
pecandu, kecuali kecuali pecandu yang tidak mampu.

Padahal IPWL adalah Rumah Sakit dan Lembaga Rehabilitasi milik pemerintah yang ditujuk sebagai tempat menjalani rehabilitasi bagi penyalah guna atau pecandu dalam proses penegakan hukum, baik atas perintah penyidik, jaksa penuntut dan hakim selama proses pemeriksaan dan tempat menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetan hakim.

Biaya rehabilitasinya dalam proses penegakan hukum di IPWL dibebankan pada pecandu kecuali biaya keputusan hakim yang telah mendapatkan putusan yang tetap saja biaya rehabilitasinya ditanggung pemerintah melalui Kementrian Kesehatan.

Akibatnya pelaksanaan pembiayaan rehabilitasi bagi penyalah guna, baik melalui program “wajib lapor pecandu maupun penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif tidak berjalan secara efektif.

Di sisi lain, biaya rehabilitasi di lingkungan Lembaga Rehabilitasi BNN, baik rehabilitasi melalui wajib lapor pecandu maupun rehabilitasi sebagai konsekwensi logis dari penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif berupa rehabilitasi atas perintah penyidik, perintah jaksa, hakim serta keputusan atau penetapan hakim biayanya ditanggung negara melalui anggaran BNN.

Diskriminasi pembiayaan rehabilitasi di lingkungan BNN dan di rumah sakit jajaran Kemenkes utamanya. terjadi pada pembiayaan pelaksanaan rehabilitasi wajib lapor pecandu serta pembiayaan pelaksanaan rehabilitasii atas perintah penyidik, penuntut umum dan hakim selama proses pemeriksaan.

Kalau di lingkungan BNN, pelaksanaan rehabilitasi yang dilaksanakan di lembaga rehabilitasi dibawah BNN biayanya ditanggung oleh pemerintah melalui anggaran BNN.

Sedangkan di lingkungan Kemenkes, pelaksanaan rehabilitasi yang
dilaksanakan di Rumah sakit di lingkungan Kemenkes, biayanya dibebankan pada penyalah guna/pecandu kecuali bagi pecandu yang
tidak mampu yang ditanggung oleh pemerintah melalui anggaran Kemenkes.

Biaya rehabilitasi di rumah sakit dibebankan kepada penyalah guna/pecandu karena kalangan Kemenkes menafsirkan sendiri bahwa sakit adiksi yang diderita pecandu disebabkan karena salahnya sendiri, padahal UU menyatakan karena dibujuk, ditipu, dirayu dan diperdaya serta dipaksa menggunakan narkotika dalam proses intoksifikasi racun kecanduannya (penjelasan pasal 54).

Akibat lebih jauh, penyalah guna atau pecandu sebagai penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental tidak dicover jaminan kesehatannya oleh BPJS Kesehatan
Deskriminasi tentang pembiayaan penyembuhan dan pemulihan
melalui rehabilitasi, menyebabkan pelaksanaan wajib lapor pecandu di Rumah Sakit.

Tetapi, nyaris tidak ada pasien yang datang untuk melaporkan diri ke Rumah Sakit yang ditunjuk sebagai IPWL dan penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice atas perintah penyidik, jaksa penuntut dan hakim selama proses pemeriksaan tidak dapat ditempatkan di Rumah Sakit yang ditunjuk sebagai IPWL untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi karena terbentur pembiayaannya.

Itu sebabnya penegakan hukum dengan pedekatan keadilan restoratif tanpa peran rumah sakit milik pemerintah sebagai tempat menjalani hukuman, hanya akan menjadi cita cita dan tujuan UU narkotika tanpa bisa diimplementasikan secara effektif.

Jika IPWL tidak jalan dan keadilan restoratif tidak dapat diimplementasikan maka akan berdampak pada masalah pelayanan kesehatan bagi pecandu, akibatnya sakit adiksi ketergantungan narkotika akan mewabah dan menyulitkan proses penanggulangan peredaran gelap narkotikanya.

PP no 25/2011 dan PMK no 4/2020 harus dievaluasi. PP no 25/2011 tentang wajib lapor pecandu dan PMK no 4 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Institusi Penerima Wajib Lapor, jelas tidak singkron bahkan dapat dikatakan bertentangan dengan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang bertujuan menjamin penyalahguna dan pecandu mendapatkan upaya rehabilitasi, mewajibkan pecandu melaporkan diri untuk mendapatkan perawatan melalui rehabilitasi agar sembuh/pulih, serta mewajibkan penegak hukum melaksanakan penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif.

Ketidaksingkronan PP no 25/2011 tentang wajib lapor pecandu dan PMK no 4 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Institusi Penerima Wajib Lapor, terletak pada pembiayaannya dimana pembiayaan rehabilitasinya tidak ditanggung sepenuhnya oleh rumah sakit, hanya pecandu yang tidak mampu saja yang ditanggung rumah sakit.

Diskriminasi biaya rehabilitasi penyelenggaraan rehabilitasi menyebabkan penyelenggaraan rehabilitasi melalui wajib lapor pecandu oleh IPWL tidak diminati oleh pecandu karena takut berbayar mahal, padahal penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan diwajibkan UU untuk melaporkan diri ke IPWL agar mendapatkan perawatan.

Demikian pula, pelaksanakan penegakan hukum terhadap penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan (pecandu) dengan pendekatan restorative justice juga mengalami kesulitan untuk dilaksanakan karena terbentur masalah pelaksanaan penghukuman rehabilitasi.

Kalau pembiayaan rehabilitasi dibebankan pada tersangka atau terdakwa, maka tersangka yang mampu membayar bisa “milih” tempat rehabilitasi kelas VIP karena membayar sendiri sedangkan rehabilitasi bagi yang tidak mampu ditempatkan rehabilitasi yang ditentukan oleh penegak hukum.

Artinya diskriminasi pembiayaan berdasarkan PP 25 tahun 2011 dan PMK no 4 tahun 2020, menjadi masalah bagi pelaksanaan penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif yang pedoman penerapannya telah dibuat oleh Mahkamah Agung melalui Surat Keputusam Dirjend Badilum Mahkamah Agung no 1691/DJU/
SK/PS.00/12/2020 tentang pemberlakuan pedoman penerapan
keadilan restoratif.

Pedoman pelakasanan penuntutannya telah dibuat oleh Jaksa Agung no 18 tahun 2021 tanggal 1 nopember 2021 tentang penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa.

Itu sebabnya saya menyarankan PP 25 tahun 2011 dan PMK no 4 tahun 2020 untuk direvisi agar proses wajib lapor pecandu dan proses penegakan hukum dengan pendekatan keadilan restoratif, dapat berjalan sesuai cita dan tujuan dibuatnya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Dan menyarankan kepada Menteri Kesehatan untuk membuat PMK tentang pelaksanaan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial, sebagaimana mandat yang diberikan kepada Menteri Kesehatan dalam pasal 13 (6) PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu, dengan terlebih dulu berkoordinasi dengan instansi terkait khususnya dalam pelaksanaan penegak hukum dengan pendekatan keadilan restoratif.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan
pengedarnya.

* Komjen Pol (Purn) DR H Anang Iskandar MH, Mantan Kapolda Jambi, Mantan Kepala BNN yang kini jadi Pegiat anti Narkotika Nasional

Pos terkait