Miris! Nenek Sabariyah, Warga Sarolangun Ini Hidup Sebatang Kara di Gubuk Reot

nenek sabariyah
Nenek Sabariyah, warga Sarolangun hidup sebatang kara di gubuk reot. Foto: Penajambi.com

JAMBISERU.COM, Sarolangun – Siapa sangka ditengah gemerlapnya kehidupan Kota Sarolangun, ada seorang nenek tua bernama Sabariyah (71) tepatnya di Kelurahan Dusun, ia hidup sebatang kara di gubuk reot.

BACA JUGA: Terjerat Kasus Prostitusi, PA Akui Sebagai Finalis Putri Pariwisata 2016

Namun, meskipun hidup sendiri dalam keterbatasan ekonomi tidak menyurutkan semangatnya berjuang mencari makan, meskipun harus mengais rejeki dari rongsokan di jalanan.

Hal ini diketahui ketika awak media Penajambi.com–media partner Jambiseru.com saat menyambangi kediamannya, pada Jum’at (25/10/2019).

Terlihat di dalam rumahnya barang bekas berupa kardus, kaleng minuman dan plastik yang menjadi saksi bisu dari perjuangan hidupnya ini. Bau menyengat seperti gudang sudah pasti tercium, tapi sang nenek seolah menikmati kesendiriannya itu.

Sedikit miris memang, ditambah lagi ketika nenek Sabariyah melihat tetangganya asyik bercengkrama dengan keluarga masing-masing. Sementara nenek sabariyah tak punya keluarga, suami ataupun anak, ia hidup sebatang kara hingga saat ini.

“Macamkolah puluhan tahun cung, lah nasib awak orang susah bersyukur masih biso makan,” kata nenek Sabariyah sesekali menjawab pertanyaan dari awak media ini.

Ketika malam tiba, nenek sabariyah mengaku membuka sedikit jendela agar bisa diterangi cahaya. Ya… begitulah adanya, rumahnya tidak ada listrik, ataupun alat penerangan lainnya.

“Kalau malam yo gelap cung dakdo listrik, cuma numpang cahayo dari rumah orang lah bukak pintu baru nampak,” kata nenek Sabariyah. Dengan bahasa Khas Dusun Sarolangun.

Yang membuat hati ini terenyuh, ketika dia menceritakan dirinya hendak shalat malam hari, dengan berbekal cahaya lampu pelita atau lampu togok kerap salah memakai mukena.

“Yang galak muat ibo hatiko setiap nenek mau Sholat kadang-kadang Nenek salah pakai talekung (mukena), dan juga sering terjatuh karena gelap nubruk barang yang ada di dalam ruangan iko,” tutupnya.

Tidak hanya itu saja, dia juga mengaku mengambil air bersih sendirian kesungai dengan berbekal jirigen kecil ukuran tenaganya yang makin rapuh dengan jarak kurang lebih 400 meter dari rumahnya.

“Kalo nak mandi susah nian aya (air) jauh ke sungai,” katanya.

Hinggga kini, ia hanya mempunyai harapan agar rumahnya bisa dipasang lampu penerangan. Melepas rasa lelah, ia hanya bisa pergi kamar tidur yang lusuh, ataupun ke dapur yang ia buat sendiri.

Tak ada bumbu ataupun alat dapur yang lengkap, hanya ada sabut kelapa atau kayu untuk menyalakan api dan ompreng atau wajan yang sudah dimakan usia.

BACA JUGA: Pemekaran Merangin, Alharis: Bisa Jadi Tiga Wilayah

Makan seharipun belum tentu tiga kali, kadang ia harus makan sehari sekali ataupun berpuasa. Dengan kondisi ini, nenek sabariyah tetap bersyukur atas apa yang tuhan berikan.

“Kinitu syukur baelah cung, dapat makan jadilah,” pungkasnya dengan nada ikhlas.
(put)

Pos terkait