Opini Musri Nauli : Melayu Jambi (3)

Opini Musri Nauli
Musri Nauli. Foto : Istimewa

Jambi Seru – Menurut data berbagai Sumber, Setelah masuknya agama Islam dalam masa kepemimpinan para Sugindo dan kedatangan Pangeran Temenggung dari Jambi, maka kekuasaan para Sugindo di Kerinci berganti menjadi Kedepatian.

Depati ini berasal dari kata Dipatri yang artinya ditetapkan atau Adipati yang berarti gelar kepala atau pemimpin suatu wilayah. Kekuasaan di Kerinci pada masa itu dipimpin oleh Depati Empat Delapan Helai Kain.

Ada 7 wilayah adat yang berada dibawah kekuasaan Depati Empat Delapan Helai Kain ini, salah satunya adalah wilayah adat Depati nan Bertujuh di Kota Sungai Penuh. Depati nan Bertujuh ini menjalankan tugasnya dalam pemerintahan adat bersama dengan Permanti nan Sepuluh, Mangku nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Adapun Depati nan Bertujuh tersebut antara lain Depati Santiudo, Depati Payung nan Sekaki, Depati Sungai Penuh, Depati Pahlawan Negara, Depati Simpan Negeri, Depati Alam Negeri, dan Depati Nyato Negaro.

Bacaan Lainnya

Pada masa kekuasaan Depati nan Bertujuh, Kerinci belum mengenal wilayah kekuasaan atau teritorial secara administratif seperti saat ini. Batas-batas ditandai dengan elemen fisik atau simbol-simbol alam seperti sungai, hutan, bukit, dan sebagainya.

Berdasarkan dua isi piagam di atas dapat disimpulkan bahwa batas wilayah adat Depati nan Bertujuh meliputi aliran Sungai Bungkal dari hulu hingga ke hilir yaitu muara Air Hitam, di sebelah Utara hingga ke daerah Koto Keras, dan sebelah Selatan hingga ke daerah Kumun Debai (Iskandar Zakaria, asal usul suku Kerinci)

Megalitik juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo (Dominik Bonatz, John David Neidel, The Megalithic Complex of Highland Jambi)

Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin) (Bont, G.K.H. de. 1922: “De batoe’s larong (kist-steenen) in Boven Djambi, Onderafdeeling Bangko”,Nederlandsch-Indië Oud en Niew)

Kebudayaan megalitik yang menghasilkan bangunan dari batu besar merupakan kebudayaan terakhir dari zaman prasejarah (paleoarkeologi). (Sejarah Maritim Indonesia, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya maritim Asia Tengara).

Sedangkan cerita yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah dan Kecik Wong Gedang Wok.

Ditengah masyarakat, dikenal sebagai Legenda Teluk Wang. Ada juga menyebutkan Teluk Wong”.

Di Kotorayo ditemukan batu bata merah yang berserakan dengan ukuran yang jauh lebih besar dan panjang dibandingkan kuburan pada umumnya. Benda-benda lainnya yang juga dapat ditemukan di kawasan ‘misterius’ ini adalah beragam pecahan porselin berupa mangkok dan piring yang berasal dari peradaban masa lalu. Di dalam kawasan ini juga terdapat kuburan yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, terletak di bawah pohon besar.

Cerita rakyat yang mengiringi perjalanan Koto Rayo memang tidak menyebutkan tahunnya, akan tetapi berdasarkan keterangan kondisi saat itu yang tengah kacau dan pengiriman 19 orang terpilih untuk memantau kondisi di muara sungai, maka dapat dikatakan bahwa saat itu adalah masa Kerajaan Melayu Kuno (abad ke-3 sampai abad ke-5 Masehi), atau Kerajaan Melayu Jambi (644/645 Masehi) atau Kerajaan Sriwijaya (670 Masehi). (Slamet Muljana, Sriwijaya)

Namun sebelum kerajaan Sriwijaya dikenal wilayah Jambi ada 3 kerajaan Melayu Kuno pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaitu: Koying (abad ke 3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (Kuntala abad ke 5). Catatan tentang adanya negeri (kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa Wu (222-280). Selain itu juga dimuat dalam ensklopedi T’ung-tien yang ditulis Tuyu (375-812 M) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin ke dalam Ensklopedi Wenhxien-t’ung-k’ao (Sartono, S. Kerajaan Melayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatera)

Sedangkan Situs Muara Jambi mempunyai luas sekitar 11 km, hingga saat ini di areal situs terdapat sekurang-kurangnya 82 buah sisa bangunan batu bata. Sebagian dari bangunan- bangunan bata tersebut mengelompok disuatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling misalnya Candi Teluk, Kembar Batu, Gedong, Gumpung, Tinggi, Koto Mahligai, Kedaton, dan sebagian lagi merupakan suatu bangunan tersendiri yang letaknya terpisah-pisah misalnya Candi Astano, Manapo Melayu, dan beberapa Manapo lainnya. (Bambang Budi Utomo, Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi)

Sebelum Kerajaan Sriwijaya, dalam catatan Sejarah Negeri Cina disebutkan ada 3 kerajaan Melayu Kuno Pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaitu Koying (Abad ke 3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (kuntala abad ke 4). Catatan tentang adanya negeri (Kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa Wu (222-280). Selain itu juga dimuat didalam ensklopedi Tu’ung-tien yang ditulis Tuyu (375-812) dan disalin oleh Ma-Tu’an-lin kedalam ensklopedi Wenhxien-t’ung-k’ao (W.O Wolters, Kejatuhan Sriwijaya Dalam Sejarah Melayu)

Bukti-bukti peninggalan sejarah kuno di Kerinci berupa barang-barang keramik yang berasal dari zaman Dinasti Han di Cina (202 SM s.d 221 M), barang-barang tersebut berupa guci terbuka, guci tertutup, mangkuk bergagang dan wadah berkaki tiga tempat penyimpanan abu jenazah. Benda- benda keramik yang telah ditemukan kelihatannya bukan barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang yang sering digunakan untuk upacara sakral bagi keperluan wadah persembahan.

Tata ruang pengaturan di masyarakat telah dicatat sebagai lingkup kesatuan negeri yang membentuk pemerintahan. Cara ini biasa dikenal istilah talang/koto.

Penamaan “Koto” menunjukkan jejak peradaban. Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Di Marga Sungai Tenang dikenal Koto Sepuluh, Kotobaru, Kotojayo, Koto Tinggi, Koto Renah, Koto Teguh, Dengan “penyebutan” Koto maka terdapat Koto Renah, Koto Teguh, Koto Sepuluh, Kotobaru, Koto Tapus. Koto Tapus dikenal sebagai Dusun Jangkat.

Di Marga Peratin Tuo dikenal Dusun Kotorami. Di Tebo dikenal Marga VII Koto dan Marga IX Koto. Hubungan antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto sering disebut “koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino.  Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun hubungan perkawinan.

Pandangan tentang Koto lebih juga menampakkan pandangan cosmos. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait