Catatan Anang Iskandar: Medan, Pelopor Restorative Justice Perkara Penyalah Guna Narkotika

Catatan Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar
Catatan Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar. (Ist)

Jambiseru.com – Ini bisa dicontoh, oleh penegak hukum diseluruh indonesia agar tujuan tercapai, masyarakat dan negara tidak dirugikan dalam upaya penanggulangan masalah penyalah gunaan narkotika.

Saya memberikan apresiasi kepada Kapolda Sumut dan Penegak Hukum di Medan yang memelopori penegakan hukum secara restorative justice terhadap penyalah guna dan hakim menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Ini bisa dicontoh oleh penegak.

Kapolda sumut sebagai atasan penyidik narkotika telah men-declare kebijakan penyidikan bahwa penyalah guna narkotika harus direhabilitasi, kebijakaan kapolda tersebut selaras dengan perintah Kapolri tentang restorative justice dan sesuai dengan ketentuan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, saya memberikan penghargaan yang tinggi atas kepeloporannya.

Bacaan Lainnya

Karena hukum pidana narkotika secara khusus menyatakan penyalah guna adalah kriminal sakit adiksi, diancam pidana, penegakan hukumnya secara restorative justice dan bentuk hukumannya berupa rehabilitasi.

Sebelumnya penyidik narkotika Poltabes Medan dan jaksa penuntut Kejari Medan telah melakukan penegakan hukum rehabilitatif dan hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan hukuman rehabilitasi terhadap terdakwa perkara penyalahgunaan narkotika.

Mengutip berita garudaonline selasa 6 juli 2021 bahwa ketua majelis hakim pada pengadilan negeri Medan Dominggus menvonis seorang kuli bangunan yang bernama Denny Hendra Darin (44) agar direhabilitasi selama 6 bulan.

Warga Jalan Rachmadsyah Ruko Town House, kelurahan kota Matsum 1 Kecamatam Medan Area ini dinyatakan kecanduan narkotika jenis sabu selama 3 tahun.

“Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa agar menjalani pengobatan atau rehabilitasi selama 6 bulan di loka rehabilitasi BNN Diliserdang dikurangi masarehabilitasi yang telah dijalani. Dengan perintah terdakwa tetap menjalani pengobatan atau rehabilitasi sampai berakhir masa rehabilitasi yang ditetapkan” tandas hakim dalam sidang virtual di ruang Cakra VI PN Medan . Selasa(6/72021)
Majelis hakim berpendapat perbuatan terdakwa Denny Hendra Darin telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar pasal 127 /1 huruf a UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Putusan itu sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Candra Priono Naibaho. Dalam dakwaan JPU Candra Priono Naibaho pada tanggal 19 maret 2021 petugas satres narkota Poltabes Medan melakukan pengakapan terhadap terdakwa disebuah ruko kosong Jalan Rahmansyah Kecamatam Medan Area. Dari tangan terdakwa petugas menyita barang bukti satu bungkus sabu seberat 0.16 gram.

“ketika diinterogasi, terdakwa mengaku menghisap sabu agar menjadi tenang. Terdakwa juga mengakui sudah 3 tahun menggunakan barang haram tersebut” ujar JPU.

PENYIDIKAN REHABILITATIF TERHADAP PENYALAH GUNA

Berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang bersifat khusus, tugas dan kewajiban penyidik hanya menangkap pelaku peredaran gelap narkotika sedangkan terhadap penyalah guna bersifat fakultatif artinya boleh menangkap boleh tidak menangkap.

Mengapa menangkap criminal kok fakultatif ?

Ya benar, karena UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika menggunakan model pilihan dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika dan penegakan hukum terhadap penyalah guna juga menggunakan model pilihan. Kewenangan penyidik untuk menangkap bersifat wajib hanya terhadap pengedar sedangkan kewenangan menangkap penyalah guna bersifat fakultatif.

Penyalah guna tidak dilakukan penangkapan tidak menjadi masalah hukum, karena ada pilihan yang lebih tepat yaitu penyalah guna diwajibkan melakukan wajib lapor pecandu untuk mendapatkan penyembuhan atau pemulihan. Kalau ditangkap proses penyidikan, penuntutan dan pengadilannya secara restorative justice.

Dari model pilihan penanggulangan tersebut, pilihan pertamanya adalah mewajibkan penyalah guna melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL dengan tujuan untuk mendapatkan penyembuhan dan pemulihan (pasal 55), dengan kompensasi tidak dituntut pidana (pasal 128/2) sebagai metode prevention without punishment.

Pilihan keduanya adalah menggunakan metode criminal law application melalui sistem peradilan rehabilitasi dengan tujuan menyembuhkan atau memulihkan dengan resiko negara mengeluarkan biaya ektra untuk biaya penegakan hukum dan kerusakan masarakat akibat penegakan hukum.

Dalam penggunaan metode criminal law application, penyidik penuntut umum dan hakim diberi kewenangan khusus yaitu kewenangan untuk menempatkan penyalah guna kedalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah (PP 25/2011 pasal 13). Bukan dalam bentuk pembataran karena sakit.

Hakim diberi kewenangan khusus oleh UU narkotika “dapat” memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi bersifat wajib (pasal 103). Konstruksi hukum tersebut yang perlu diketahui oleh masarakat dan penegak hukum. Itu sebabnya pemerintah mendesak untuk melakukan mensosialisasikan kembali pentingnya prevention without punishment berupa program unggulan wajib lapor pecandu ke IPWL dan mengontrol penyidik, penuntut umum dan hakim agar menggunakan kewenangan berdasarkan UU narkotika.

Karena bila penyidik melakukan penangkapan terhadap penyalah guna dan dalam proses penegakan hukum menggunakan proses restorative justice dengan penjatuhan hukuman berupa rehabilitasi pun, negara dirugikan karena mengeluaran biaya penegakan hukum yang cukup besar.

Bila penyidik melakukan penangkapan dan akhirnya penyalah guna dihukum penjara seperti selama ini maka biaya yang ditanggung negara menjadi “sangat besar” berupa biaya penyidikan, penuntutan dan pengadilannya dan biaya rehabilitasi atas putusan hakimnya serta biaya resiko penyalah guna dipenjara seperti terjadinya anomali lapas, terjadinya kebakaran/pembakaran atau kerusuhan akibat perilaku penyalah guna didalam penjara, dan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika Penangkapan, penuntutan dan pengadilan terhadap penyalah guna narkotika dilakukan secara selektif, hanya untuk mengungkap siapa pengedar dan menangkap penyalah guna yang menjadi anggota sindikat peredaran gelap narkotika.

BNN sebagai koordinator P4GN wajib mengutamakan sosialisasi wajib lapor pecandu dari pada melaksanakan penegakan hukum
terhadap penyalah guna narkotika, Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah
gunanya dan penjarakan pengedarnya. (*)

Penulis ; DR. H. Anang Iskandar, MH, pegiat anti Narkotika Nasional.

Pos terkait