Opini Musri Nauli : Tutur masyarakat mengenal Seh Bari (2)

Musri Nauli
Musri Nauli. Foto : Dok/Istimewa

Jambiseru.com – Seh Bari kemudian mewariskan kepada murid-muridnya serangkaian ajaran yang dirumuskan sebagai “dasar-dasar menempuh jalan mistis”.

Dinilai dari ajarannya, Islam yang dikembangkan pasti bukan sebuah ajaran sinkretis yang mengakomodasi praktik-praktik lokal. Sebaliknya, Seh Bari mengajukan dalil-dalil bagi sebuah komunitas elite yang mencari pengetahuan mengenai (1) hakikat Tuhan berdasarkan penafsiran Qurani; (2) apakah Tuhan berbeda dari makhluk; dan (3) bagaimana seorang hamba bisa mengenal transendensi-Nya.

Dalam menjelajahi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Seh Bari merujuk kepada al- Ghazali, yang dia gunakan untuk melawan teologi esoteris Ibn al-‘Arabi, terutama menentang gagasan “kesatuan wujud” (wahdat al-wujud) yang dikembangkan para pengikut Ibn al-‘Arabi yang beranggapan bahwa Tuhan dan makhluk pada dasarnya identik.

Bacaan Lainnya

Begitu pula, seorang guru lain dari masa awal, Seh Ibrahim, mendorong murid-muridnya untuk menjaga jarak dari berbagai godaan duniawi, dan untuk mengambil inspirasi dari Khidr.

Seh Bari yang dikaitkan dengan berbagai manuskrip lontar yang kemudian disimpan hingga ke Universitas Leiden sejak 1575.

Mengikuti jejak naskah yang berbahasa Jawa yang berisikan ajaran-ajaran Islam abad XVI yang menyebutkan Seh Bari merupakan ulama yang berangkat dari pertimbangan metafisik dan etos asketik yang berasal dari mistik Islam, tasawuf yang merupakan pemikiran yang tumbuh didunia islam Suni.

Kitab yang diwariskan oleh Seh Bari mengedepankan mistik islam, tasawuf dan sufi merupakan jejak dari peradaban Islam pada awal-awal penyebarannya di Jawa.

Dengan demikian maka sejarah Islam di pedalaman Jambi kemudian berangkat dari tasawuf dan sufi. Sebuah bukti kedatangan Islam yang damai dari pendekatan keimanan ditengah masyarakat.

Yang kemudian kelak dipersoalkan menjadi penuh bidah dan kurafat yang mendorong munculnya gerakan-gerakan pembaruan besar pada abad XIX dan XX.

Namun yang menarik adalah bagaimana hubungan tutur dan cerita ditengah masyarakat di Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan, yang menyebutkan Seh Bari dengan berbagai dokumen dan jejak naskah yang berbahasa Jawa tentang penyebaran Islam di Jawa ?

Apakah Seh Bari sebagai ulama yang dihormati di Jawa yang disebutkan berbagai Ahli merupakan “puyang” dari Marga Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan ?

Lalu apakah Seh Bari sebagai ulama yang dihormati kemudian menjadi penyebar agama Islam di dataran tinggi Merangin.

Berbagai puzzle yang menjadi misteri harus dapat diungkapkan. Sekaligus memenuhi dahaga dari pengetahuan kita tentang masuknya Islam di dataran tinggi di Merangin. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait