Opini Musri Nauli : Hak Ulayat di Jambi

perjalanan betuah (26)
Musri Nauli. (Ist)

Jambiseru.com – Sebagai bagian dari masyarakat hukum adat (MHA), MHA mendeskripsikan sebagai “hak ulayat”. Van vollenhoven di dalam bukunya  “Miskenningen van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat).

Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van vollenhoven menyebutkan ciri-ciri. (1)Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya, berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2)Bukan anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin dari persekutuan hukum itu. (3)Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam lingkungan wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya (menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga. (6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap, seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan lain sebagainya.

Myrna Savitri, didalam bukunya Negara dan pluralisme hukum –  Kebijakan pluralisme hukum di Indonesia pada masa kolonial dan masa kini, BERAGAM JALUR MENUJU KEADILAN PLURALISME HUKUM DAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT DI ASIA TENGGARA mengutip Sedangkan Ter Haar menyebutkan identifikasi masyarakat hukum adat.

Bacaan Lainnya

Sebagaimana disebutkan Ter Haar maka harus mengatur Adanya tempat yang dilarang. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan. Analisis ini diperkuat oleh F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi yang menyebutkan sebagai rimbo gano”.

Kemudian Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd).

Depati kemudian menyetujui dan memberitahukan kepada Pesirah. Apabila tidak digarap, “sesap rendah, belukar tinggi”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang.

Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda

Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang mati”.

Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik.

Untuk melihat ketiga MHA, maka kita bisa melihat ciri-ciri yang disampaikan oleh Van vollenhoven dan Ter Haar. Sebagai identitas, ketiga MHA mampu menjelaskan wilayah-wilayah desa dengan baik.

Sedangkan Eugen Ehrlich merumuskan sebagai das lebende Recht (living law) yang bersifat Pemerintah dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) terletak di tangan pembesar.

Di Jambi sendiri disebutkan didalam seloko seperti ““Alam sekato Rajo. Negeri sekato Bathin”. Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat / persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai   “Kekuatan Batin dari Desa”.

Selanjutnya Penghormatan terhadap pembesar ditandai “Rajo” yang ditandai dengan seloko “Kampung betuo, Dusun Bepati, Negeri Berajo. . Atau “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin.

Posisi tuo kampung, kepala Dusun, ninik mamak.
Sedangkan Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara’ begitu dominan.  Tideman memberikan istilah “hubungan keluarga masih kuat.

Hubungan antara rakyat bathin dengan rakyat penghulu seperti hubungan antara seorang induk dengan anaknya, dikukuhkan dengan suatu sumpah dilakukan sewaktu bersama-sama menikmati hidangan.

Dengan demikian, berpijak kepada Myrna Savitri yang mengutip Ter Haar dan
Eugen Ehrlich dan didasarkan F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi sekaligus pengetahuan dan tutur ditengah masyarakat, maka hak ulayat di Jambi telah lama dikenal. Dan Sudah menjadi praktek sehari-hari ditengah masyaraka. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi 

Pos terkait