Opini Musri Nauli : Jerami

perjalanan betuah (26)
Musri Nauli. (Ist)

Jambi Seru – Menurut kamus Besar bahasa Indonesia, kata “jerami” adalah batang padi yang sudah dituai. “Jerami” juga bisa diartikan sebagai “serat, serabut yang terdapat di isi buah nangka”.

Hampir disetiap Marga dan batin di Jambi mengenal seloko yang menggunakan kata “jerami”. Seloko seperti “Sesap jerami, tunggul pemarasan”, “sesap rendah. jerami tinggi”, “sesap jerami, tanaman tunggul”, “sesap rendah. jerami tinggi” atau “Sosok jerami, tunggul pamareh.

Apabila melihat seloko yang menggunakan kata “jerami” maka tidak Serta merta menunjukkan jerami sebagai tanaman padi yang sudah dituai. Tapi menunjukkan hukum adat mengenai Tanah.

Bacaan Lainnya

Seloko seperti “Sesap jerami, tunggul pemarasan” dapat diartikan sebagai Tanah yang kemudian digarap maka telah menjadi haknya. Harus ditanami tuo seperti “karet”.

Sedangkan apabila Sesap jerami, Tunggul Pemarasan. Tanah yang kemudian tidak digarap, maka yang membuka tanah, tidak mempunyai hak lagi.

Seloko seperti “sesap rendah jerami tinggi” dipadankan dengan seloko seperti  sesap rendah tunggul pemarasan”. Makna ini kemudian dapat dipadankan dengan istilah “perimbun atau “Mati tanah. Buat tanaman”.

Berbagai seloko yang menggunakan kata “jerami” seperti “Sesap jerami, tunggul pemarasan”, “sesap rendah. jerami tinggi”, “sesap jerami, tanaman tunggul”, “sesap rendah. jerami tinggi” atau “Sosok jerami, tunggul pamareh” dapat dipadankan seperti seloko seperti “Empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah.

Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Seloko empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami tinggi” sudah lama tidak dirawat.

Dengan demikian maka “empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah tanah terlantar.

Dengan demikian maka “empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah tanah terlantar.

Berbeda dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.

Sehingga seloko “belukar tuo”, “belukar lasah”, “sesap rendah jerami tinggi”, “mati tanah. Buat tanaman”, “tunggul pemarasan”, “empang krenggo”, “larangan krenggo” membuktikan hak masyarakat terhadap tanah kemudian dikenal daluarsa. Putusan MA justru mengakui tentang daluarsa. Putusan MA No. 348 PK/Pdt/2011, Putusan MA No. 622 K/Pdt/2012 dan Putusan MA No. 410 K/Pdt/2011 dan Putusan MA No. 979/K/Sip/1971. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait