Opini : Asa Politik di Tengah Pandemi

Reza Amarta Prayoga, M.A
Reza Amarta Prayoga, M.A

Opini : Asa Politik di Tengah Pandemi

Oleh: Reza Amarta Prayoga, M.A

JAMBISERU.COM – Genderang Pilkada 2020 akan segera terlaksana. Ditengah kelesuan ekonomi nasional dan pandemi covid-19, semangat berpolitik tidak boleh redam dan padam. Bakal calon kepala daerah akan bertarung pada kontestasi demokrasi aras lokal, mencari sosok kepala daerah yang mampu memberikan kontribusi riil pada pembangunan daerah. Terlebih mampu lepas dari belenggu resesi ekonomi dan sosial adalah idaman rakyat. Sosok Kepala daerah yang mampu memimpin dan bekerja dengan kondisi serba terbatas tetapi hasil melampaui batas. Ditambah lagi, memiliki kapasitas memberikan solusi dari kesulitan rakyat dengan kebijakan riil menyentuh akar masalah sosial. Kontestasi pada pilkada 2020 diharapkan mampu melahirkan pemimpin baru, dengan kerja dan pemikiran yang mampu melampaui potensi lokal dan mengubah pandangan negatif menjadi positif. Selain itu, mampu dan cepat menyesuaikan diri dan bekerja efektif serta mampu bernegoisasi-kolaborasi, berkoalisi, dan fasilitator minoritas.

Bacaan Lainnya

Baca Juga : Opini : Ibarat Melihara Anak Harimau, Ancaman Fasha untuk Para Ketua Partai

Eskalasi politik antara kepala daerah mulai dari penantang Petahana hingga sosok baru pun ikut bertarung dalam kontestasi demokrasi prosedural. Petahana dengan pengalaman dan telah teruji kemampuannya tentu menjadi nilai tambah tersendiri untuk dapat memenangkan pilihan dari rakyat. Lain petahana, lain pula pendatang baru, dengan sebuah gagasan baru dan cara kepimpinan baru tentunya akan memberikan warna tersendiri bagi perubahan. Hal ini dikembalikan kepada pemilih ingin melanjutkan yang sudah baik atau memulai dengan cara yang baru.

Pertarungan politik yang akan segera terlaksana. Idealnya, amanat rakyat ditampuhkan kepada mereka yang akan menjadi pejuang suara rakyat. Tentu harapan sebagian atau seluruh masyarakat luas adalah sosok kepala daerah yang tidak hanya berani bersuara lantang menyuarakan jargon politik untuk kemakmuran rakyat tetapi juga berani berdiri tegak disamping atau paling depan sebagai pejuang dari yang diwakilkan. Terlebih lagi, memiliki wawasan visi kebijakan pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Tidak lagi ada tendensi kekuasaan yang bermuara akan kepentingan elite semata tetapi juga harus mampu mengangkat derajat rakyat dengan kesejahteraan berkeadilan tanpa kelas sosial.

Mencari sosok kepada daerah ideal adalah sosok pemimpin yang lahir dari kalangan masyarakat yang seharusnya dapat dan bisa merasakan kegundahan dan kesulitan yang dialami masyarakat kalangan akar rumput (grassroot). Mampu mengaktualisasikan kebijakan pembangunan yang dapat merepresentasikan keberpihakan pada kelas masyarakat bawah. Tradisi feodalisitik dan primodial membuat kerangka berpikir pemimpin hanya mewariskan tradisi pemikiran dan kebijakan yang hanya menguntungkan segelinitir orang atau elite. Ditambah lagi, sosok pemimpin yang terlahir dari kemudahan akses dinasti politik instan, tentu tidak memiliki kematangan sense of belonging (rasa memiliki akan kepedihan rakyat, rasa tanggung jawab moral dan rasa untuk mengubah kearah lebih baik). Tentunya, hal ini akan berpengaruh pada sikap politiknya kelak.

Ditengah rasa pesimitis dan antipati dari rakyat akan pemimpinnya. Hal demikian, menggambarkan adanya rasa ketidakpuasan dari cara pemimpin daerah yang tidak dapat dekat dan berpihak kepada rakyat. Tidak hanya “bualan” dan “pepesan kosong belaka” dari jargon-jargon yang akan dijadikan pijakan visi dan misi dari bakal calon kepala daearah. Senyatanya, jargon tersebut hanya jadi penghias dan retorika dari debat-debat yang lalu. Sebenarnya, rakyat membutuhkan konsistensi dan langkah riil kebijakan yang dapat memberikan efek kesejahteraan. Apalagi situasional di tengah pandemi covid-19, memberikan efek domino berantai pada pembangunan dan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Harapan untuk hal demikian secara nyata pasti menjadi tanggung jawab moral dari calon kepala daerah. Betapa tidak, amanah yang disematkan kepada para calon pemimpin adalah kunci dimana masyarakat masih cukup optimis dengan keterwakilan mereka melalui pundak para pemimpin. Tentu amanah demikian begitu mahal, karena kepercayaan publik tidak dapat diganti dengan apapun. Malah, amanah yang dipertanggungjawabkan lebih berat yaitu kepada tuhan atau pengadilan sosial jikalau amanah demikian dideviasi (penyimpangan).

Ditengah degradasinya kepercayaan akan kepemimpinan, timbul suatu rasa skeptis dan antipati terhadap pemimpin yang akan datang. Namun, semangat untuk lebih baik, pilkada tetap saja menjadi “primadona” dari pesta demokrasi aras lokal untuk memberikan kepercayaan penuh kepada pemimpin daerah nanti. Pandangan optimis tetap diapungkan oleh rakyat, tetapi pandangan pesimistis tetap saja menjadi kesadaran kritis bagi para pemilih rasional.

Pemilih rasional masih ragu dan belum bisa memberikan amanah kepercayaannya kepada para calon pemimpin daerah. Hal ini didasarkan referensi politik diri atas narasi kepala daerah yang akhirnya terjebak pada kepentingan politik pragmatis. Akhirnya, logika pilihan rasional yang dipilih untuk “golput” adalah alasan tepat bagi mereka yang merasa sinis terhadap pilkada. Pilkada dirasa tidak memberikan dampak perubahan yang berarti serta hanya sebagai ajang unjuk rasa kepentingan elite yang mendompleng atas nama kepentingan rakyat. Bayangkan saja padangan para penganut ini yang merasa demokrasi dirasakan ketika pemilu saja, dan keberlanjutan semangat yang katanya “pejuang rakyat” nyaris tanpa hasil alias nihil.

Baca Juga : Opini Musri Nauli : Koneksi Keluarga, Politik Dinasti Atau Nepotisme

Balutan janji kampanye selalu menjadi komoditas politik menggiurkan, terlebih isu yang dikomoditaskan adalah isu strategis seperti kemiskinan, pendidikan murah, kesehatan gratis, bantuan modal usaha, penyediaan rumah murah, subsidi dan sebagainya. Janji tersebut terus direproduksi dan diduplikasi menjadi standar acuan bagi para calon kepala daerah untuk memperoleh dukungan suara. Jangan sampai, elite politik pragmatis pemegang kekuasaan tertinggi ekonomi, dan politik akan memainkan kepentingan calon kepala daerah bagai “bidak catur”. Hal ini dikarenakan terikat modal investasi politik yang tidak sedikit dari para elite kepada calon tersebut. Maka tidak mengherankan ketika kepentingan rakyat bisa kalah dengan titah kepentingan politik para pemegang saham. Tetapi, terlepas dari segala spekulasi “liar” tersebut. Patut kita bersama apungkan asa pada kontestasi politik 2020 untuk perubahan yang lebih baik. Semoga. (*)

*) Penulis adalah ASN

Pos terkait