Musri Nauli : Bobot Pemimpin

Opini Musri Nauli
Praktisi hukum, Musri Nauli.Foto: Jambiseru.com

Berbeda dengan pandangan sebagian kalangan, anjuran untuk “kampanye santun” tidak menghilangkan sikap kritis terhadap hal-ikwal tentang diri pemimpin.

Baca Juga : Sudah Dua Wartawan Dinyatakan Positif Covid-19, Ketua PWI Ajak Doakan Kesembuhan

Sebelum memilih, para pemilih harus diberikan informasi yang utuh tentang “bibit”, “rekam jejak” dari pemimpin.

Bacaan Lainnya

 “Rekam jejak” dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai “bobot”. Sebuah cara pandang alam kosmopolitan di dalam menentukan pilihan

Bukankah pemilih diberikan kesempatan untuk mengenal pemimpin. Entah “apakah” pembohong, suka “ngecap”, “omongan doang (omdo)” atau cuma jago retorika.

Belum lagi berbagai sifat seperti “pendendam”, “suka menghasut”, khianat, tidak amanah dan berbagai sifat yang justru akan merugikan pilihan dari pemilih.

Dalam beberapa kali “mengurusi” organisasi, saya lebih suka “memberikan pekerjaan” kepada orang yang “suka bicara”.

Berbeda dengan “jago forum”, kadangkala ketika dikasih pekerjaan, mulai menampakkan watak aslinya.

Entah suka “laporan sering telat”, “suka mengakali uang jalan”, “cuma tidur di rumah Kades” atau sering kalo membolos kerja di kantor.

Dengan pekerjan yang diberikan, ujian akan diketahui. Apakah seseorang cuma jago retorika ataupun cuma sekedar “menguasai forum”.

Beberapa kali ketika di dalam rapat, ketika bicara berapi-api, dengan enteng saya kemudian berujar. “Tuliskan dalam TOR”. Atau “bikin konsep note”.

Biasanya sang pengujar langsung diam. “Mungkret kayak kucing keno siram air”.

Sang pengujar yang sering cuma mampu beretorika namun tidak mampu bekerja dikenal dalam perumpamaan “tong kosong nyaring bunyinya”.

Sebagaimana kritik sosial Slank; Sedikit ngerti ngaku udah paham.
Kerja sedikit maunya kelihatan.  Otak masih kaya TK kok ngakunya sarjana
Ngomong-ngomongin orang kayak udah jagoan.

Tong kosong nyaring bunyinya. Klentang-klentong kosong banyak bicara. Oceh sana-sini nggak ada isi. Otak udang ngomongnya sembarang.”

Dalam tradisi demokrasi di Amerika, setiap kandidat yang maju dalam pemilihan, maka rekam jejaknya kemudian “dikuliti”.

Entah ketika waktu sekolah “pernah ditilang”, pernah ngelek (menghisap ganja). Atau pernah “kedapatan mabuk” semalaman dari diskotik.

Mungkin masih ingat ketika publik Amerika heboh. Ketika seorang petinggi dari kerajaan Thailand yang cuma “bercelana jeans”, tanpa baju, pagi hari kemudian “dijemput” pasukan kerajaan untuk menutupi muka dari petinggi.

Pasukan khusus kerajaan sengaja “menjemput” petinggi setelah semalaman mabuk dari diskotik di Amerika. Publik Thailand kemudian menutupi berita itu. Namun media di Amerika sudah keburu sudah meliputnya dan kemudian menjadi heboh di Amerika.

Begitu juga ketika beberapa calon yang digadang-gadang untuk meraih posisi penting di Gedung Putih (White House) akhirnya mengundurkan diri karena “Skandal” masa lalu kemudian dibongkar oleh publik.

Tentu saja kita tidak setuju dengan cara-cara di Amerika. Selain nilai-nilai demokrasi yang berbeda antara di Indonesia dan Amerika, cara-cara seperti itu kurang menarik perhatian saya.

Namun yang menarik perhatian saya adalah “rekam jejak” dan perjalanan karir dari kandidat.

Kepala Desa yang mau maju untuk pencalonan periode kedua harus membuktikan kinerjanya selama periode sebelumnya.

Misalnya dia berjanji akan membangun gapura. Lalu ketika habis periode pertama dan mencalonkan diri untuk periode kedua, dia harus membuktikan dengan “fisik” gapura yang sudah dibangun. Begitu seterusnya.

Melihat “rekam jejak” adalah Pendidikan politik (voter education) kepada rakyat. Tanpa harus menyertakan “pekerjaan yang sudah dilakukan” maka mimpi tentang “gagasan” akan diusung seperti “menabur angin”. Percuma. Tanpa makna.

Begitu juga para pemimpin yang suka meninggalkan “gelanggang”. Misalnya ketika asap mulai melanda di Jambi, kemudian dengan aksi teatrikal “mengungsikan” keluarganya keluar dari Jambi. Tidak Bersama-sama dengan rakyat Jambi menghadapi asap yang melanda hingga 3-4 bulan.

Atau pemimpin yang sering berkhianat. Tidak amanah. Tidak pernah membicarakan Jambi namun kemudian bertindak seolah-olah seperti “satrio piningit” atau Ratu Adil.

Yang kita lawan adalah “issu-issu” berkaitan dengan Rasial. Membicarakan “keturunan” dari pendekatan “Putra asli” atau “Putra daerah”.

Issu-issu itu selain tidak mendidik rakyat juga merusak nilai-nilai demokrasi.

Belum lagi membicarakan “suku” ataupun agama dari pemimpin. Cara itu selain akan merusak demokrasi justru akan menimbulkan “perpecahan” ditengah masyarakat.

Kampanye yang merusak dikenal sebagai kampanye hitam (Black campaign). Kampanye yang justru menjadikan pemilihan menjadi “ajang” pembusukkan. Dan itu akan memberikan Pendidikan politik yang buruk ditengah masyarakat.

Sehingga publik kemudian disadarkan. Untuk memilih pemimpin tidak terlepas dari “bobot” pemimpin yang dipilih.

Bukan pemimpin yang suka berjanji namun tidak mampu dibuktikan. Atau pemimpin yang suka berjanji namun ternyata berkhianat.

Sekali saja pemimpin culas dan berkhianat, derita bukan hanya ditanggung oleh sang pemimpin yang berkhianat. Tapi pemilih juga merasakan derita yang harus ditanggung.

Baca Juga : Musri Nauli : Idol dan Festival

Sebagaimana sering diingatkan oleh Rajo Jambi. Datuk Paduko Berhalo di dalam sumpahnya dan “melaknat” di dalam Selokonya; “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan kumbang”. (*)

*) Penulis adalah Direktur Media dan Opini Al Haris-Abdullah Sani

Pos terkait