Opini : Menggunakan Bahasa, Memartabatkan Manusia

Nurul Fahmy. Foto: Jambiseru.com
Nurul Fahmy.Foto: Jambiseru.com

Opini : Menggunakan Bahasa, Memartabatkan Manusia

Oleh: Nurul Fahmy

JAMBISERU.COM – Martabat dalam KBBI memiliki arti harga diri, dan disebut juga sebagai tingkat harkat kemanusiaan. Sedang pemartabatan adalah proses atau cara memberi martabat. Sementara wikipedia menuliskan, martabat merupakan konsep penting dalam meletakkan hak-hak dasar kemanusiaan, seperti kebebasan, hak untuk hidup, termasuk harga diri.

Bacaan Lainnya

Baca Juga : PAN Bergerak, Petambak Ikan Kumpeh Berharap ini Jika Haris-Sani Menang Pilgub Jambi 2020

Jadi martabat bukan konsep untuk bahasa, melainkan untuk manusia. Sementara bahasa merupakan produk budaya, produk manusia. Hak dasar manusia itu sifatnya ilahiah. Sesuatu yang berasal dari Tuhan. Bagaimana cara memberikan hak ilahiah kepada produk budaya buatan manusia?

Penggunaan kata martabat atau pemartabatan pada tema ini dengan demikian tidak tepat. Harga diri bahasa? Bahasa itu tidak akan kehilangan harga dirinya. Tapi pengguna dan medianya-lah yang akan kehilangan harga diri kalau tidak bisa menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Apakah selama ini bahasa Indonesia sebagai bahasa negara tidak bermartabat? Bahasa memang tidak memiliki martabat. Bahasa itu lentur dan berubah-ubah. Dia akan terus menyesuaikan diri dengan perkembangan budaya manusia. Kalaupun jumlah penutur suatu bahasa tidak banyak seperti bahasa Melayu yang digunakan oleh hanya sekitar 200 juta manusia di seluruh dunia bukan karena bahasa itu tidak bermartabat, tapi karena banyak hal, yang sudah pasti berkaitan dengan manusianya, penggunanya.

Jadi fix (frasa fix dalam kamus bahasa gaul berarti sudah tetap atau pasti), kita akan membicarakan martabat manusia dan kaitannya dengan kemampuan berbahasa. Khususnya bagi wartawan dan media massa, khususnya lagi media daring atau online.

Kesimpulannya, kalau ada jurnalis atau media massa yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai kaidah jurnalistik, karena minimnya penguasaan bahasa, atau kurangnya wawasan kebahasaannya, maka hancurlah martabatnya sebagai jurnalis. Hal ini juga berlaku kepada pejabat resmi negara seperti presiden, staf kantor bahasa, karyawan, PNS dan profesional lainnya.

Bahasa media online di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan bahasa media massa konvensional. Prinsipnya, ringkas, jelas dan tidak bertele-tele. Untuk memiliki pengetahuan tentang bahasa koran (istilah lama), maka jurnalis harus banyak membaca dan berlatih lagi tentang penguasaan Bahasa Indonesia jurnalistik.

Dalam beberapa kasus pada media massa, kebiasaan penggunaan istilah asing, lebih dipicu karena belum adanya padanan kata dalam bahasa Indonesia yang pas untuk kata-kata tertentu. Misalnya viral. Apakah sudah ada padanan kata yang pas untuk kata viral? Kalau untuk artinya sudah ada, tapi padanan yang pas untuk bahasa di media massa, belum ada. Seperti misalnya juga kata atau istilah doxing, zoom meeting, trending topic.

Kata-kata ini muncul begitu cepat dan massif dalam aktivitas keseharian kita. Media massa, mau tidak mau menggunakan istilah itu, ketimbang menunggu dibuatnya padanan yang pas oleh otoritas bahasa.

Istilah-istilah asing yang populer itu juga penting digunakan oleh media online karena berkaitan dengan SEO (Search Engine Optimization). Menggunakan padanan kata yang tidak populer, sama dengan membuang kesempatan berita tersebut dibaca oleh pemirsa. Seperti kata perkosaan yang dipadankan sebagai rudapaksa, email menjadi pos-el dan lain sebagainya. (Soal SEO ini akan dibahas di bawah)

Maka itu, padanan kata yang pas dalam bahasa Indonesia juga perlu dipikirkan oleh otoritas bahasa, agar pembaca lebih familiar dengan media massa yang menggunakannya, termasuk juga familiar oleh mesin pencari.
Saya tidak paham bagaimana proses membuat padanan kata itu oleh otoritas bahasa, sehingga padanan itu kadang tidak enak juga didengar atau diucapkan. Misalnya ‘topping’ pada kue dipadanakan sebagai “pugas’. Dan “Omnibus Law” itu apa? Bagaimana media harus menuliskan padanan Omnibus Law?

Pada beberapa media online lokal, selain tidak menentunya penggunaan kata depan dan imbuhan “di”, di depan, di media, disterilkan, ditembak, di tambak, ditambal, dicampakkan kesalahan umum lainnya adalah penulisan nama tempat atau nama daerah.

Banyak yang belum paham penulisan nama daerah yang terdiri dari dua kata harus digabung, kecuali nama yang belakangnya menyebut arah mata angin, seperti Utara, Selatan, Timur, Tenggara, Barat. (Apakah mudik, hulu, hilir termasuk mata angin dan karenanya dipisah juga?). Contoh nama daerah yang harus digabung atau dipisah, yakni Muarojambi, Batanghari, Kasangpudak, Ekajaya, Baganpete, Alambarajo, Sungaipenuh, Jambi Selatan, Tanjungjabung Timur, Bangko Selatan, Tebo Ilir.

Muaro Jambi adalah nama kawasan percandian, sementara Muarojambi adalah nama kabupaten. Begitu juga Batang Hari adalah nama sungai, dan Batanghari adalah nama kabupaten. Jelas bedanya bagi yang paham.
SEO, yang Populer versus yang Benar.

SEO sudah menjadi tantangan baru bagi redaksi dalam menggunakan bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Bukan hanya tantangan, Search Engine Optimization ini cenderung merusak dan menghancurkan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar. Algoritma mesin pencari, seperti Google, Bing, Yahoo atau lainnya, cenderung membaca istilah-istilah atau kata-kata populer yang digunakan, ketimbang kata atau istilah yang benar.

Tempo dalam “Jurnalistik Dasar, Resep dari Dapur Tempo,” menyebutkan, disparitas kata Usamah bin Ladin dan Osama bin Laden di mesin pencari sangat tinggi. Di Google, nama Osama bin Laden lebih banyak dicari dan ditulis ketimbang nama Usamah bin Ladin. Meski penulisan yang betul sesuai kaidah Bahasa Indonesia adalah Usamah bin Ladin.

Penulisan nama Usamah bin Ladin ternyata dianggap tidak ramah oleh algoritma mesin pencari. Sehingga redaksi tetap nekad menggunakan kata Osama bin Laden, karena tidak mau ambil resiko beritanya tidak terbaca oleh Google.

Kita tentu bisa mencari contoh lain bagaimana frasa yang populer lebih banyak digunakan ketimbang frasa yang benar. Seperti Focus Group Discussion (FGD) yang lebih populer ketimbang Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT), atau online ketimbang daring.

Berikut contoh judul yang digunakan media online yang mengabaikan kaidah penulisan dan lebih mengedepankan

SEO: “Keluarga BCL Sesalkan Istri Ashraf Nangis di Idol Saat Judika Nyanyi di Depan Bunga Citra Lestari”
Dosa Media Kepada Bahasa dan Pembaca Redaksi yang buruk tidak saja membuat harkat dan martabatnya jatuh di mata orang yang paham dan mengerti bahasa, tapi juga merupakan dosa jariyah (?) kepada masyarakat pembaca.

Baca Juga : Opini Musri Nauli : Adab

Tidak semua pembaca paham kaidah berbahasa. Banyak masyarakat yang hanya berpedoman melalui media massa, dan menganggap bahwa cara penulisan media itulah yang paling benar. Masyarakat seperti ini cenderung akan terjerumus ke dalam kesalahan berbahasa yang berkepanjangan jika media yang menjadi rujukannya itu salah dalam berbahasa. Itulah salah satu dosa jariyah media massa. (*/)

Penulis adalah Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Provinsi Jambi
*(Materi ini disampaikan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion/FGD) “Pemartabatan Bahasa Negara di Media Massa,” yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Jambi, pada Senin 26 Oktober 2020 di Hotel Royal Garden)

Pos terkait