Sebagaimana seloko “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”. Ada juga menyebutkan “keras tidak tertarik. Lembut dak tesidu. Cacah dalam tekurung. Buanglah ke arus yang mendengung. Buanglah ke bungkul nan piawai. Digantung dak betali. Berbantal bane. Bebapak kepada rimau. Beinduk kepada Kuaow. Menyerahkan buntang kepada Langau”, atau “Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo”, atau “Gajah yang begading. Rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh”.
Terhadap kesalahan yang kemudian disampaikan kepada Rajo adalah kesalahan yang tidak mau menerima sanksi adat. Ada yang menyebutkan sebagai “plali”. Yang ditandai dengan Seloko seperti Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw.
Ada juga menyebutkan “tinggi tidak dikadah, rendah tidak dikutung, bebapak kepado harimau beindok kepado gajah bekambing pado kijang beayam pado kuwao”, “digantung tinggi, dibuang jauh” atau “tinggi tidak dikadah. Rendah Tidak dikutung”. Atau “umo betalang jauh. Pesako mencil”
Maka sejak saat itu yang melakukan perbutan dikeluarkan dari tanggung jawab Kepala Adat, tidak boleh penduduk lain berkunjung kerumahnya kalau ado orang yang datang orang tersebut dihukum, kalau sakit tidak boleh dibesuk kalau dibesuk yang membesuk dihukum, kalau kawin tidak ado orang yang mau ngurus, kalau mati pegawai syara‟ yang menyembahyangkan dan dikuburkan sendiri oleh keluarganya.
Dalam pembicaraan sehari-hari sering juga disebutkan “orang buangan”.
T
Tutuh
Membicarakan kata “tutuh” tidak dapat dilepaskan dari seloko. Kata “tutuh” adalah menebang ranting-ranting pohon. Sehingga bisa dipanjat.
Kata “tutuh” justru menegaskan terhadap pemotongan dahan-dahan dari pohonnya.
Di Marga Sungai Tenang dikenal Nutuh Kepayang Nubo Tepian. “Nutuh Kepayang Nubo Tepian” diartikan adalah dilarang menebang kayu dihutan yang bermanfaat bagi orang banyak. Selain itu kayu-kayu yang berbuah seperti embacang, pauh, petai dan kepayang dapat dimakan.
Selain manusia juga dimakan hewan lain seperti burung.
“Nutuh Kepayang Nubo Tepian” juga diartikan dilarang menebang Kayu yang bersarangnya swowalang.
Di beberapa tempat justru pohon sialang sama sekali tidak boleh ditebang. Di Talang Mamak – Simarantihan Marga Sumay dikenal dengan “sialang pendulangan”.
Bukan hanya pohon yang terdapat sialang yang dilarang. Namun sekitar pohon sama sekali tidak dapat ditebang.
Juga dikenal dilarangnya ““Membuka pebalaian”. “Membuka pebalaian” diartikan dilarang menebang pohon sialangnya. Sanksinya cukup keras dengan hukuman “Kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada Desa.
Seloko yang mengandung kata “tutuh” juga dikenal seperti “petai dak boleh ditutuh. Durian dak boleh dipanjat”.
Maknanya adalah pohon yang terdapat petai sama sekali tidak boleh dipotong. Jangankan pohon, dahannya saja sama sekali tidak boleh dipotong. Sehingga pohon Petai sama sekali tidak boleh ditebang pohonnya. Sekaligus sama sekali tidak boleh menebang dahannya.
Sedangkan buah durian tidak boleh dipanjat adalah “mengambil” durian tidak dibenarkan untuk diambil dengan cara dipanjat. Atau dengan cara “menggugurkan” buah durian dengan cara menggoyang-goyangkan pohonnya. Memanjat pohon durian adalah salah satu “pantang larang” ditengah masyarakat.
Sehingga pohon “petai dak boleh ditutuh.